Blaise Matuidi Bukan yang Nomor Satu, Ia Satu-Satunya!
Keadaan gelap karena kelaparan serta kemiskinan, bergelayut nyaris di tiap jengkal tanah negara Kongo. Pemerintahan diktator Mobutu pada negeri yang dahulu diketahui untuk negara Zaire ini, semakin jadi parah situasi rakyat Kongo, yang diminta terjerat pada keadaan perang tidak berbuntut.
Kongo ialah negara sisa jajahan Belgia, yang sejak memerdekakan diri, tetap tidak lepas dari perselisihan kekuasaan. Tertera minimal terjadi 1x kup berdarah di negara itu, yang membuat Kongo pada akhirnya dikendalikan pemerintahan kediktatoran semasa 3 dasawarsa.
Situasi negeri yang penuh ketidaktetapan ini, selanjutnya membuat Faria Rivelino, ayah dari Blaise Matuidi, bersama-sama si isteri, Elise, putuskan untuk pindah, cari kehidupan yang lebih bagus di Perancis pada medio 80-an.
Matuidi lahir pada tanggal 9 April 1987, di kota Toulouse, satu kota yang mukanya tidak sama jauh dari negeri asal si Ibu. Walau kehidupan mereka belum dapat disebutkan lebih baik semenjaknya, tetapi minimal, Toulouse tawarkan peluang paling baik yang tidak kemungkinan disuguhi oleh Kongo atau Angola, negeri kelahiran si Ayah Matuidi.
Peluang paling baik itu namanya sepakbola.
Ialah Jay Jay Okocha, seorang pemain sepak bola berkulit hitam asal Nigeria, yang namanya demikian memberikan inspirasi banyak beberapa anak kecil dari keluarga imigran, yang punya mimpi satu hari dapat berkarier di tanah sepakbola Eropa. Tidak kecuali Matuidi.
Kegemilangan karier Okocha di veerapa club Eropa, ternyata sudah dapat memecut semangat Matuidi kecil untuk ingin memperdalam karier sepakbola. Di umurnya yang baru mencapai 6 tahun, Matuidi didaftarkan masuk dengan club asal kampung halamannya, US Fontenay Sous-Bois.
Sesudah kurang lebih lima tahun menimba pengetahuan di US Fontenay, pada tahun 1999, Matuidi masuk dengan CO Vincennois. Bertepatan dengan itu, si pujaan, Jay Jay Okocha, sudah menggenapkan diri satu tahun bela Paris Saint-Germain.
Ya, waktu itu, mimpi Matuidi seakan jadi demikian dekat. Karena dia serta si pujaan, sekarang ada di kota yang serupa. Pada tahun itu juga, Matuidi disebut untuk salah satunya pemain muda yang menjanjikan di daerah tengah-utara Perancis.
Talenta hebat Matuidi ternyata mulai mengambil ketertarikan klub-klub junior di Paris. Di tahun 2000, Matuidi terima penawaran berlatih dari akademi INF Clairefontaine, walau sebenarnya di waktu yang serupa, dia masih bela club lamanya, CO Vincennois. Tetapi dia tidak mempedulikan itu.
Di pikiran Matuidi, peluang sekecil apa saja, jangan dia sia-siakan. Dia berkeras mempertaruhkan saatnya pada hari kerja untuk berlatih di Clairefontaine, selanjutnya dia berlaga bela Vincennois diakhir minggu. Tidak ada hari libur untuk sepakbola buat Matuidi.
Pada musim 2011-2012, Matuidi alami lesatan karier yang tidak terbayangkan. PSG tiba menawarinya kontrak, untuk isi kekosongan peranan yang dibiarkan oleh legenda Perancis, Claude Makelele.
Ya, PSG ialah club yang serupa, club yang sempat dibela oleh si pujaan, Jay Jay Okocha. Walau dia tidak sampai bermain bersama-sama Okocha, tetapi dapat bela club yang sama juga dengan si pujaan, adalah satu perolehan tertentu. Usaha keras Matuidi sudah membawanya sampai di titik setinggi itu.
Di PSG, Matuidi menjelma untuk pemain tengah jangkar penghancur tempo permainan musuh. Gerakan tanpa ada bolanya, benar-benar efisien dalam mengganggu buyarnya fokus musuh membuat pola. Dia mahir lakukan intersepsi, dia juga bagus di dalam tutup ruangan gerak musuh.
Gemilangnya performa Matuidi, pasti tidak dapat dilepaskan dari peranan seorang Isabelle, figur idola hati Matuidi sejak kedua-duanya masih duduk di kursi taman bermain.
Waktu remaja, Matuidi pernah berkata dalam hati, jika nantinya dia akan menikah dengan Isabelle. Salah satu wanita, yang sudah sukses memperkuat sekaligus juga menghaluskan hati Matuidi dalam tempo yang bertepatan.
Jalinan kedua-duanya termasuk cukuplah memilukan, Matuidi yang tercipta berkulit hitam, pernah berasa rendah diri serta memikir untuk simpan saja perasaannya pada Isabelle yang berkulit putih. Dia berasa, golongan imigran kelihatannya, tidak patut punya mimpi mempunyai gadis Eropa memiliki rambut pirang.
Tetapi, bukan cinta namanya, bila tidak mengikutkan jalan buat sesiapa yang akan menujunya. Matuidi tahu itu. Karena kepercayaan itu juga yang memperkuatnya dalam bersepakbola. Serta kesempatan ini, dia menampik untuk menyerah, cuma pada perasaan rendah dianya itu.
Dia tutup mata pada peluang-kemungkinan terjelek, pada banyak asumsi mata sebelah orang pada imigran kulit hitam. Dia pilih berusaha habis-habisan untuk wanita yang demikian dicintainya. Jalan yang pasti benar-benar tidak gampang, tetapi dia dapat melebihinya.
Di Februari tahun 2016, saat Matuidi ajak Isabelle melihat film Starwars di bioskop. Matuidi membuat surprise yang tidak sempat dipikirkan oleh Isabelle seumur hidupnya.
Waktu kedua-duanya telah duduk di bangku ruang bioskop, memandang monitor, selanjutnya beberapa lampu mulai dimatikan. Tidak ada serangkaian iklan trailer film yang diputar benar-benar, seperti biasa.
Iklan-iklan itu malah bertukar dengan satu film pendek, berisi kolase photo waktu kecil Matuidi serta Isabelle, dan beberapa momen solidaritas kedua-duanya yang demikian sentuh. Isabelle tidak lagi dapat mengatakan apa-apa waktu itu, cuma dapat merasai detak jantungnya berdegup cepat, selanjutnya stop tiba-tiba, saat Matuidi mengatakan, "Menikahlah denganku..."
Sejak itu, Isabelle sudah jadi pendamping hidup Matuidi sampai ini hari. Isabelle jadi saksi pucuk karier suaminya, waktu Perancis keluar untuk juara Piala Dunia 2018 di Rusia.
Isabelle jadi saksi, waktu lelaki yang dicintainya itu, ada di titik paling rendah, sesudah dia dengan rekanan segrupnya di Juventus, Moise Kean, mendapatkan gempuran rasisme di Liga Italia.
Malam itu, 6 Januari 2018, saat Juventus berkunjung ke tempat Cagliari. Terdengar demikian jelas suara teriakan seperti monyet, yang menyengaja dialamatkan beberapa supporter Cagliara pada 2 orang pemain Juventus, Kean serta Matuidi.
Gempuran verbal semakin jadi, saat Kean sukses cetak gol, serta lakukan selebrasi mengarah simpatisan Cagliari. Tidak teringat begitu emosionalnya situasi hati Kean serta Matuidi saat itu.
"Buatku, beberapa orang bodoh ini (beberapa aktor rasisme) tidak patut ada di stadion. Semestinya mereka dilarang tiba lagi seumur hidup. Kita harus bangun menantang perlakuan seperti ini. Beberapa anak kita tidak patut melihat yang semacam ini lagi di hari esok."
Kemarahan Matuidi benar-benar sangat beralasan, dia jengkel pada masih menjamurnya beberapa serangan rasial di Italia. Insiden malam itu, ialah insiden ke-2 yang dia terima, dalam periode waktu sepuluh hari paling akhir.
Liga Italia memang diketahui tidak ramah buat mereka yang berkulit hitam. Aksi rasis demikian seringkali berlangsung serta terus berulang-ulang. Tidak sampai disana, Matuidi dibikin gusar pada pengakuan rekanan segrupnya, Leonardo Bonucci, yang malah memberikan pembenaran pada beberapa aktor rasisme.
Bonucci menyebutkan insiden rasial itu, malah untuk insiden yang 50-50, disebabkan karena oleh kedua pihak. Benar-benar satu pengakuan konyol yang sangat melukai Kean serta Matuidi.
"Beberapa orang yang kalah serta pengecut, tetap coba mengintimidasi dengan kedengkian. Saya bukan pembenci, serta cuma dapat menyesali mereka yang memberikan contoh jelek." Papar Matuidi.
Ini hari, Matuidi barusan mengucap salam perpisahan buat semua beberapa rekannya di Juventus. Dia akan meneruskan penjelajahan barunya di Amerika Serikat, di club Inter Miami punya bekas legenda AC Milan, David Beckham.
Tiga musim telah, dia berusaha habis-habisan untuk Juve. Cukup banyak juga gelar yang dia persembahkan. Dia memanglah bukan pemain yang seringkali dibahas sebab prestasinya. Kadang, orang semakin senang mengulas kealpaan-kealpaannya. Membuat gurauan mengenainya.
Tapi dengan rataan 30 pertandingan per musim untuk Juventus, rasa-rasanya cukup memvisualisasikan begitu fundamentalnya Matuidi buat baris tengah Juve.
Dia memanglah bukan pemain yang prima, tetapi dia ialah pilihan paling baik yang Juve punya di tempat itu, semasa 3 musim paling akhir. Dia bukan yang nomor satu, tetapi dia ialah salah satu!
Matuidi bisa saja pergi, tetapi tidak ada seorang juga yang dapat mengganti narasi heroiknya, waktu berdiri membuat perlindungan Moise Kean dari gempuran rasial.
Apa saja gurauan tentang Matuidi, tidak akan cukup membuat kita hilangkan rasa hormat, pada seorang yang berdiri pada kebenaran. Seorang yang memaknai sepakbola, lebih dari pada sebatas olahraga serta selingan semata-mata.
Sebab sebenarnya, "Sepak bola ialah langkah untuk menebarkan kesetaraan, semangat serta ide. Karena itu saya berada di sini."
Terima kasih, Blaise! Mudah-mudahan sukses.